[CerBEr] Awas, Ada Ardi Part II


Uap dari secangkir kopi panas di meja bundar berukiran kembang-kembang mengepul. Menghembuskan hawa panas. Membuat nafsu minum kopi gue menggebu-gebu. Apalagi suasana cafe yang remang-remang senja. Berada di pojokan persimpangan paling strategis di kota. Lampu-lampu jalan yang mulai berbinar, atau kawanan burung yang berkelepakan. Menambah rempah-rempah kenikmatan sore ini.

“Enak aja!” Tatap gadis itu lamat-lamat, dahinya mengernyit. Sorot matanya sebal, memonyongkan mulut. “Lonya aja yang kegeeran, Ardi! Waktu itu kan hari pertama gue di sekolah itu, sudah pasti dong gue menyapu pandang ke seluruh kelas! Kali aja dengan gitu gue bisa cepet akrab!”

“Alesan.” Jawab gue seenaknya. “Lalu logika macam apa lagi yang bisa menjelaskan kenapa waktu itu lo malah milih duduk di samping gue? Bukannya di bangku Ratih?” Gue menatapnya, menyipitkan mata. “Dia kan juga sendirian. Udah gitu sama-sama ceweknya lagi.”

“Tapi kan, Di, Pak Abot yang nyuruh gue duduk sama lo!” Ngotot gadis itu. “Enak aja!”

“Halah... tapi kan lo akhirnya bersyukur kan bisa duduk ama gue, ya kan?”

Gadis itu mendengus. Memilih untuk diam dan meneguk teh di depannya.

Ini topik favorit kami. Setelah sekian lama kenal, dan, menjadi bukan lagi hanya kenal, kami berubah menjadi sosok yang tak terpisahkan. Kemana-mana bersama. Melakukan banyak hal berdua. Melihat dunia luas. Berlayar ke samudra tanpa sudah. Terjun ke jurang-jurang paling dalam. Tersesat ke hutan paling lebat. Atau hanya mencoret-coret tembok belakang rumah sambil tergelak macam lolongan serigala.

Ah, meskipun begitu dua tahun belakangan ini kami sudah jarang sekali bertemu. Dia memutuskan setelah lulus gelar sarjananya di bidang permusikan yang gue gak ngerti, melanjutkan ke negeri pemilih Menara Eiffel. Meninggalkan banyak hal di sini. Juga gue bernasib sama. Setelah menimbang-nimbang tiga beasiswa dari tiga universitas yang berbeda, gue memutuskan melanjutkan kuliah S2 ke Fullbright, USA. Meskipun masih diragukan alasan logisnya yang bisa menjelaskan kenapa gue yang waktu SMA sangat pemalas, bisa gemilang di akademik justeru ketika melanjutkan studi.

Gue dan Zizah memilih duduk di bangku pojok. Bersisian langsung dengan kaca yang basah. Berembun di dalam. Dan bagian luarnya berusaha keras menahan derajat yang anjlok hingga ke angka berwarna putih. Dingin. Suara gemeletak butir-butir salju menghantam kaca. Di luar langit baru saja bersin. Membuat warna putih di mana-mana. Mengusir burung-burung yang kelaparan pulang ke sarangnya. Mencari hangat; tentram; memeluk anak-anaknya.

Zizah masih asik menikmati tehnya. Sedangkan meskipun sangat dingin, gue tetap saja tidak kuat menahan panas dari kopi yang masih mengepul. Gue biarin. Sengaja menunggunya hangat-hangat kuku, demi menjamin kelangsungan bibir gue yang ranum. Dari balik kaca yang menggigil, gue bisa melihat siluet Menara Big Ben tertutup kabut. Seandainya tidak perlu sedingin ini, sungguh betapa sangat indahnya suasana kota London sore ini.

“Lo kapan balik ke Indonesia, Zizah?”

Yang ditanya malah menggelembungkan pipi. Matanya membulat. Teh yang baru diceguknya itu belum tertelan. Membuat degup dada yang sudah lama hilang ini timbul kembali. Menatap indah sua dari gadis di depan gue, dari si pemilik retina terindah. Dari tatapan pertama yang langsung dan telak. Mencuri setiap jengkal ruang di hati.

“Gak tahu, Di, gue masih harus perform beberapa kali dulu di sini. Terus lanjut lagi ke Wales. Rentetan Britania.” Katanya setelah bersusah payah menelan semua teh yang ada di mulutnya. “Kalo lo sendiri, kapan balik?”

“Paling juga lusa sudah balik. Kerjaan gue di sini kan sudah berakhir dua hari lalu, Zah. Ini cuma demi rasa kangen lo yang bikin gue masih bertahan di tempat se-freezing ini.”

“Lebay, deh, Di! Udah gitu gr lagi! Hih.”

“Lo masih suka berburu, gak? Hutan di eropa kan gak enak-enak banget menurut gue, Zah, dingin.”

“Sejak kapan Di manusia kayak gue, ehm, kayak kita, udah enggak suka berburu?” Jawabnya dengan nada mengejek.

Gue tertawa. Dan, suara tawa gue anehnya enggak terdengar atau mencari perhatian. Karena langsung lebur dengan suara tawa dari meja-meja lain, tentunya dengan percakapannya masing-masing.

“Ardi.” Zizah menyela tawa gue.

Gue mendongakkan kepala, “Ada apa, Zah?”

“Mm.. by the way, udah lama juga ya.. kita enggak berburu bareng?”

“Eng....” Gue menggaruk kepala. Tiba-tiba gatal. “Iya juga, ya, Zizah. Udah lama banget. Sekitar 5 tahunan, kan?”

“Kayaknya, sih.”

Ah, iya, gue kayaknya harus menceritakan adegan itu lagi. Adegan saat suara derap kaki itu berderit di sepanjang koridor sekolah; meninggalkan jejak lumpur dari lapangan sekolah yang semalam mandi hujan. Adegan ketika bagai malaikat bermandikan cahaya berdiri anggun di daun pintu. Adegan ketika  mata gue tertusuk tatapan mata dari retina terindah. Adegan kenapa gue dan Zizah bisa sedekat ini.

Saat itu semacam insting hewani dalam tubuh gue bereaksi dengan sangat gila, meluap-luap, ketika kami saling bersitatap. Gue langsung berusaha mengalih perhatian, tapi hangat tubuhnya bahkan kerasa dari jauh. Juga aromanya. Membuat hidung gue mendengus lebih peka dari pada biasanya. Dan untuk kesekian kalinya Zizah dan gue bertatap mata, gue langsung tahu bahwa dia berbeda.

Benar-benar berbeda.

Lebih tepatnya, kami berdua berbeda.

“Perkenalkan nama saya.. saya Zizah.” Dia menundukkan kepala. “Seperti yang sudah disampaikan oleh bapak guru, saya merupakan pindahan dari salah satu sekolah swasta. Semoga saya bisa diterima dengan baik di sini.”

Zizah lalu tersenyum. Dan seraya dengan senyum itu, gue tersentak. Ngelihat gigi-giginya. Amboi. Putih. Bersih. Terusun rapi. Dan, dan, dan.... tidak jauh berbeda dengan apa yang gue punya.

Pak Abot segera menunjuk Zizah untuk duduk di bangku gue. Retina terindah dengan mata berlensa kekuningan menangkap cahaya matahari itu kembali menatap gue. Tampaknya dia juga sadar. Dia lantas berjalan ke arah gue dengan segala raut muka yang terlihat lega.

Dia duduk tanpa melepas tasnya. Melipat tangan di atas meja. Semua anak sekelas pada ngelihatin bangku kami berdua, ehm, semua anak sekelas pada ngelihatin dia.. Dia cuma senyum-senyum ke yang lain. Sedangkan gue hanya berani nunduk sambil neguk ludah. Entah kenapa gue jadi segugup ini.

“Nama kamu siapa?” Tanya Zizah. Maklum, belum kenal, jadi masih pake aku-kamu-aku-kamu gitu.

“Eh, nama aku?” Jawab gue kaget. “Eh, Ardi. Kenalin gue Ardi.”

Dengan senyum dan senjata paling menakutkannya, retina terindah itu, dia mengulurkan tangan seraya bibirnya bergetar-getar tersenyum.

“Aku Zizah.”

Slet. Tangan kami untuk sejenak berpegangan. Hangat. Agak ke panas. Gue sudah merasakan hawa-hawa ini bahkan ketika derap kaki itu berdecit memenuhi koridor. Gue juga berkali-kali behasil menangkap retinanya yang berbeda. Dan, sekarang, setelah tangan kami sepenuhnya saling menggenggam, dan setelah gue merasakan suhu kulitnya yang hangat, mungkin agak panas bagi yang lain. Gue menelan ludah. Dan langsung memberanikan diri untuk bertanya. Gue yakin dia memang berbeda.

“Eng.. Zizah, gue boleh nanya enggak?” Kata gue malu-malu. Gue ngelepasin pegangan tangannya.

“Iya, Ardi?” Jawabnya. Mata itu kembali berkilat.

“Eng.. kamu... kamu berasal dari hutan mana?” Ragu-ragu gue bersusah payah mengucapkannya.

Sedangkan senyum yang dia selalu sematkan itu langsung pudar. Kembali datar. Matanya seketika menyipit. Seperti menyelidik. Seperti melihatku dari ubun-ubun hingga ke ujung paling kecil dari kuku kaki. Sepertinya dia juga memerhatikan persamaan kami berdua.

“Ternyata dugaan gue benar, Di.”

“Benar? Dugaan apa?”

“Kalo lo bakal nanya itu.” Dia kembali tersenyum, juga dengan kilat kuning di matanya yang kembali menyala.

“Gue dari hutan di Kalimantan Selatan.” Lanjutnya. “Kalo lo?”

“Eh, gue. Gue berpindah-pindah, Zizah. Dari ujung bumi ke ujung bumi. Tapi gue tetep menyamar di sini.”

“Lo kayaknya manusia serigala yang menarik, deh, Ardi!” Bisik Zizah di telinga gue. Gue terkesiap. Sekian seringnya bertemu dengan manusia serigala lain, yang lawan jenis, belum pernah gue merasakan sensasi segugup ini.

“Lo juga, Zizah. Lo punya mata pemburu yang sangat anggun. Berkilat-kilat.” Bisik gue juga. “Lo manusia serigala yang sangat menarik!”

@hudasanca
[CerBEr] Awas, Ada Ardi Part II [CerBEr] Awas, Ada Ardi Part II Reviewed by Blogger Energy on 11:01 Rating: 5

9 comments

  1. Itu dari hutan Kalsel ya? Daerah mana? Kali aja temenku dulu :3

    ReplyDelete
  2. Hadehhh, ending ceritanya kok serigala2 gini. Adehhh. Rada gimana ya.

    Tapi ceritanya menghibur.

    ReplyDelete
  3. OKE... JADINYA MANUSIA SERIGALA! JANGAN2 ABIS INI TERNYATA ARDI ITU TELETUBBIES!

    Bener2 deh idenya liar banget.. cakep :D

    ReplyDelete
  4. gue kira mereka berburu itu berburu hewan apa foto di hutan gitu, ternyata cerita ganteng-ganteng srigala toh -_______- bagus Hud ceritanya gak ketebak

    ReplyDelete
  5. oh ini ceritanya udah lulus, terus ketemu kangen, terus teringat jaman sekolah dulu waktu si abot ngenalin anak baru dikelas itu ya ? asik alurnya, walau sempet mikir juga hehe... :D keren idenya kayanya Lo Hud punya insting pemburu yang sangat anggun deh haha :D

    ReplyDelete
  6. Errr.. udah aneh sih, berburu berdua? jadi teringat sinetron yang lagi buming. lah kok ternyata beneran, :D

    ReplyDelete
  7. matiiih Hud, kayaknya lu kebanyakan liat ganteng ganteng Seering Gila deh ya..jadinya bukan manusia dong ini, tapi SERIGALA. Oke fine!! Ais ini sapa yang bakalan ngelanjutin? Gue mau liat dulu mau dibawa kemanahubungan kita, eh cerita ini maksutnya.

    ReplyDelete
  8. Ya ampun mendadak jadi korban GGS hahaha

    Gue bingung mau komen apa lagi, gue menunggu siapa yang mempunya darah sucinya? Atau jangan-jangan cerita selanjutnya akan lebih menyesatkan hahaha

    ReplyDelete
  9. Huda memang jagonya deh bikin cerpen dengan kata-kata yang woooowww, ini saya baca berkali-kali dan takjub. Huda sampai membawa cerita ini ke alur yang saya tidak sangka-sangka.. benar-benar liar idenya. Klu sebelumnya ceritanya rada absurd, huda jg bisa mengalihkan cerita ini dengan gaya berbeda tp tetap nyambung... sy smpai bingung gimana lanjutin cerita ini.... abis ceritanya keren bingit... sayangnya alurnya aja yang terlalu cepat... tahu2 Ardi yg episode sebelumnya baru kelas dua sma skrg udah s2... but... nice short story... like pake banget

    ReplyDelete