[CerBEr] Awas, Ada Ardi Part IV


Cerita sebelumnya bisa kamu baca dulu di -> Awas, Ardi Part III


Cuplikan episode sebelumnya:

Jauh-jauh hari gue niat mau bawa Zizah berburu di hutan angker itu, tapi Zizah tampaknya sibuk banget dengan performnya keliling Eropa. Baru bulan lalu, gadis itu mengabari rencana kedatangannya ke London. Dan demi menyambut gembira kedatangan Zizah, gue sengaja mengulur-ngulur waktu, menunda kepulangan. Sebenarnya Papa Johan dari pekan lalu udah mendesak gue untuk segera pulang ke Jakarta. Katanya ada pekerjaan super duper penting menanti gue di sana, entah apa itu, gue gak peduli.

Bahkan gue bisa mengulur kepulangan ke Indonesia lebih lama, pekan depan, tahun depan atau dua tahun yang akan datang, andai saja Zizah memintaku tinggal atau ikut bersamanya. Selain pergi berburu di hutan Epping, gue juga ngebet ngajak Zizah ke British museum, London Eye, Tower of London, kemanapun azal Zizah membersamaiku, andai saja dia tidak datang bersama Adriano. Andai saja, tapi... ah sudahlah. Besok gue akan balik tanpa harus menunggu lusa atau musim semi tiba.

                                                                       ***

Bahkan gue bisa mengulur kepulangan ke Indonesia lebih lama, pekan depan, tahun depan atau dua tahun yang akan datang, andai saja Zizah memintaku tinggal atau ikut bersamanya. Selain pergi berburu di hutan Epping, gue juga ngebet ngajak Zizah ke British museum, London Eye, Tower of London, kemanapun azal Zizah membersamaiku, andai saja dia tidak datang bersama Adriano. Andai saja, tapi... ah sudahlah. Besok gue akan balik tanpa harus menunggu lusa atau musim semi tiba.

***

Kita adalah sepasang sepatu

Selalu bersama tak bisa bersatu...

Seketika gue terhenyak dengan kalimat yang dinyanyiin tulus dalam lagunya. Wajah Zizah merambat ke ingatan gue. Bak sengat listrik, otak gue terkejut oleh kenangan. Gue sendiri lupa kapan mulai menaruh rasa diam-diam ke dia. Yang jelas awalnya gue hanya kagum. Mengagumi sifatnya yang sangat cocok di mata gue. Tapi ternyata saat jarak memisahkan kami, dia mulai menaruh rasa pada manusia itu. Manusia yang dengan menyebalkannya merebut hati Zizah tiba-tiba. Gue udah mempersiapkan untuk menikmati rasa jatuh cinta dari bertahun-tahun lalu. Tapi, gue lupa buat mempersiapkan saat gue terluka.

Tulus bener, gue dan Zizah kayak sepasang sepatu. Kami jalan beriringan sejak masa SMA, tapi sampai sekarang gak bisa bersatu. Gue dan dia juga kayak rel kereta. Sepanjang apa pun kita berjalan, kita akan selalu berdampingan. Nggak akan pernah bertemu.

Gue menghela napas. Berusaha melepaskan penat dan perih yang mengiris-iris hati. Berusaha menenangkan jiwa yang terbalut penuh luka. Mungkin harusnya sejak dulu gue sadar kalau gue dan Zizah ditakdirkan sebatas teman.
Ya, teman. Nggak lebih.

Tatapan gue melayang menembus jendela pesawat. Di luar, langit biru nampak indah diselingi awan-awan tipis. Lagi-lagi pikiran gue terbang mengingat Zizah. Zizah ibarat langit dan gue awannya. Mereka nggak bisa bersatu karena awan hanya bisa membuat langit terlihat lebih cantik. Awan hanya mampu melengkapi. Begitupun gue. Gue hanya mampu melengkapi hidup Zizah untuk membuatnya lebih bahagia. Tanpa perlu jadi pendampingnya.

Gue memutuskan untuk menutup mata, beristirahat sebelum tiba di bandara Soekarno Hatta satu jam lagi. Gue juga memutuskan untuk mengikhlaskan Zizah mulai detik ini. Dan gue berharap, saat nanti pertama kali gue menjejakkan kaki di Indonesia, pikiran gue udah terlepas dari Zizah dan merajut masa depan baru bersama seseorang yang baru. Semoga.

***

Gue berjalan mendorong trolly berisi 2 buah koper dengan santai. Gue menghirup udara musim kemarau—atau mungkin bisa disebut hangat—cukup tenang. Gue memperhatikan sekitar. Beberapa orang saling berpelukan—ada yang menangis, ada yang tertawa. Tentu, dalam hidup, tangis dan tawa adalah satu paket lengkap yang gak bisa dipisahkan. Mata gue menangkap sosok cewek tinggi dengan bantuan boots yang mungkin tingginya sekitar 7 senti.
Dia mengenakan syal rajut sebagai aksesori di lehernya. Jalannya tergesa-gesa sambil menenteng satu koper dan menyampirkan tas berbahan kulit di bahu kanannya. Rambutnya terurai mengilap terkena cahaya. Tepat saat kami akan bersimpangan, cewek itu terkilir. Dan jatuh.

“Aduh,” pekiknya.

Refleks, gue melepaskan trolly dan menolongnya, berjongkok. “Are you okay?"

"Ini mata kakinya." Ia meringis.

Gue memegang mata kakinya dengan sentuhan lembut. Beberapa detik kemudian, dia memutar-mutar pergelangan kakinya.

Cewek itu berdiri sembari menjatuhkan lengan di bahu gue. “Udah enakan nih. Makasih.” Ia segera melepaskan lengannya dan kembali mengambil koper. Mata bulatnya tiba-tiba menoleh ke sebuah pesawat yang baru tinggal landas. Ia menatapnya nanar. “Pesawatnya…”

Gue menatap manusia chinese itu dengan bingung. “Gue Ardi.”
Gue menjulurkan tangan mencoba mencairkan suasana. Entah kenapa gue malah mengajaknya kenalan. Padahal dia baru aja ketinggalan pesawat.

Cewek itu menoleh. Matanya mendadak sayu dengan kening mengernyit dan bibirnya mengerucut. Dia menatap gue, menghela napas, membalas uluran tangan dan berkata, “Narnia.”

Sentuhan jemari Narnia membuat jantung gue berdegup nggak karuan. Hati gue mencelus, seperti terhempas dari ketinggian. Apa ini yang dirasakan Zizah saat berkenalan dengan manusia normal itu? Ah, seharusnya gue gak perlu nyebut nama dia lagi.

"Gue minta maaf karena lama nolongin lo tadi."

"Nggak, bukan lo yang salah. Gue yang teledor lupa jam keberangkatan. Gue yang teledor tidur malem akhirnya bangun siang. Gue yang teledor--"

"Sambil ngopi yuk?"

Narnia bergeming. Ia memutar bola matanya, mungkin sedang menimang-nimang.

"Yuk,"

***

Percaya atau nggak, dalam hidup, kita akan dipertemukan dengan banyak keberuntungan. Itu yang lagi gue alami sekarang. Ketemu sama manusia chinese yang-sejak-pertama-bikin-gue-jadi-bertingkah-alay dan sekarang, gue dan Narnia lagi asik ngobrol di sudut meja sebuah coffee shop di bandara. Ini sama sekali bukan kebetulan. Tapi keberuntungan.

"Lo mau ke mana?" Narnia memecah kembali keheningan di antara kami selang beberapa jeda.

"Baru pulang." Gue menyesap Double Chocolaty Chip Frappuccino Blended Cream dengan tenang. Cairan dingin itu meluncur melewati kerongkongan dan rasanya ikut mendinginkan hati gue yang lagi meletup-letup riang.

"Dari?"

"Jerman. Lo sendiri?"

Narnia mengambil cangkir Green Tea Latte-nya dan menyesapnya perlahan. Matanya tertutup menikmati sesapan pertama. Semua terjadi dalam gerak lambat. Mata gue memotret setiap gerik tubuhnya dan langsung tersimpan dengan rapi di memori. Cara dia mengambil cangkir, cara dia menghirup uap minumannya, cara dia menyesap cairan hangat berwarna hijau itu, serta rambut mengilap nakalnya yang menjuntai hingga menutupi sebagian wajahnya.

"Tadinya gue mau ngejar seseorang. Tapi mungkin dia memang gak layak gue kejar." Ia menyisipkan rambut nakalnya ke belakang telinga.

Gue mengangguk paham. Meskipun ada yang pengin gue tanyain, tapi gue menghargai dia sebagai orang baru.

"Masa lalu gue sih sebenernya." Narnia berujar seakan bisa membaca sorot mata gue yang penuh tanya.

"Masa lalu itu emang gak pernah bisa bikin hidup seseorang tenang, ya."

Narnia menderai tawa. Giginya yang putih dan rapi menambah nilai plus dia di mata gue. "Iya, mereka kayak hantu yang selalu gentayangan. Gangguin tau nggak."

Gue mengangguk. "Btw gimana kaki lo?"

"Kayaknya..." ia menggantungkan kalimatnya. Memutar pergelangan kakinya sambil mengernyitkan dahi. "Masih agak sakit sih."

"Yaudah kita tukeran nomor aja gimana? Kalo lo butuh bantuan kan gampang." Gue menatapnya sambil mengangkat sebelah alis.

Narnia belum menjawab. Dia masih tersenyum sambil memainkan Green Tea Latte-nya. Sejenak gue lupa kalau cewek memikat ini adalah manusia biasa.



Dan kita benar-benar berbeda.

bersambung...

@dwi_sartikasari

[CerBEr] Awas, Ada Ardi Part IV [CerBEr] Awas, Ada Ardi Part IV Reviewed by Blogger Energy on 10:36 Rating: 5

10 comments

  1. Aduhhh, ardi belum dapet nomornya, ya. Penasaran akan kemana cerita ini. Semoga ardi bahagia, ya?

    ReplyDelete
  2. Panjaaaang, kayaknya bisa jadi satu novel ini kalau sambung menyambung menjadi satu gini. Hahahahahah dari zizah ke narnia. (y)

    ReplyDelete
  3. Haii :') setelah lama gak hadir di BE dikarenakan kesibukan didunia nyata aku terkesima ternyata be punya kisah berantai gini ya? Belum baca dari yang pertama nih. Bookmark dulu deh.

    ReplyDelete
  4. Eh itu kok si ARdi pulang dari Jerman yak? Perasaan kemarin dia ada di London deh -__-

    Asikk ceritanya jatuh cinta lagi.. ketemu sama manusia, berarti entar kalo ketemu zizah bisa sharing-sharing masalah manusia dong :o eh ahahaha... Minggu depan yang ngelanjutin siapa njer?

    ReplyDelete
  5. Semoga Ardi dapet nomornya, hehe. :)
    Dan semoga Ardi bahagia. :D

    Ayo, sambungin lagi ceritanya. :)

    ReplyDelete
  6. Wahh gue bacanya gak urut mas, tapi gakpapa gue tetep paham, wkwkwk Lanjutkann

    ReplyDelete
  7. Pengen juga rasanya buat ikutan ngelanjutin tapi baru sadar minggu depan bakal ada UAS. Jadi kayaknya ntaran aja deh ambil bagian. Tunggu UAS kelar. Dan, kalo jadi vampire mah bebas di episode sebelumnya dari London pulang ke Indonesia tetiba dari Jerman. Selama vampire sah-sah aja.

    ReplyDelete
  8. Percaya kok, dalam hidup, kita banyak dipertemukan dengan keberuntungan. sayang aja manusianya kurang bersyukur... btw ini ceritanya makin liar aja.. lama lama tokoh"nya dari seluruh dunia masuk sini nih hhe -_-

    dan..... ( komennya bersambung juga )

    ReplyDelete
  9. Pantesan terasa begitu drama , yang nulis kak Dwi Sartikasari. Endingnya keren, kek disinetron, bikin penasaran. :D

    Ditunggu lanjutannya deh..

    ReplyDelete
  10. Duhhh finally bisa komen disini huhuhu

    Ahaaa, ini bikinan kak Dwi ya? kalo kak Dwi mah yg bikin selalu bikin aku terkesima muehehhehe

    Wah, keren ya cerita bersambung gini. Bikin penasaran aja kelanjutannya gimana :D

    Semoga nanti bisa ikutan cerita bersambung ini muehehhe

    ReplyDelete